Sinjai.Wahdah.Or.Id -- Bayangkan seseorang kehausan di tengah terik matahari. Di sebelah kirinya ada segelas air putih: bersih, segar, dan menyejukkan. Tapi alih-alih meminumnya, ia malah menunduk, menyiduk segenggam air comberan dari selokan, lalu meneguknya dengan puas. Orang-orang yang melihatnya tentu akan terkejut, bahkan mungkin mengira tak waras.
Aneh? Ya. Tapi begitulah kondisi sebagian besar umat Islam hari ini—dalam urusan ekonomi.
Warisan yang Terlupakan
Umat Islam mewarisi sistem ekonomi yang mulia dan paripurna. Islam tidak hanya mengajarkan shalat dan puasa, tapi juga cara berdagang, mengelola harta, memberi pinjaman, mengatur pajak, hingga membangun kesejahteraan masyarakat.
Namun kenyataannya, banyak dari kita justru lebih percaya pada sistem ekonomi konvensional—yang dipenuhi riba, spekulasi, dan ketimpangan. Sebuah sistem yang dibangun di atas fondasi kapitalisme dan nafsu, bukan nilai-nilai kebenaran.
Kita seperti orang haus yang malah memilih air comberan: kotor, bau, tapi dianggap “praktis” dan “menguntungkan”.
Fakta Pahit: Bank Syariah Masih Dipandang Sebelah Mata
Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia. Namun, tahukah Anda bahwa pangsa pasar bank syariah di Indonesia masih di bawah 10%?
Menurut data OJK per akhir 2024, aset bank syariah hanya sekitar 7,3% dari total perbankan nasional. Artinya, dari setiap 100 pengguna jasa bank, hanya 7–8 orang yang memilih bank syariah. Sisanya? Masih nyaman dengan sistem bunga—alias riba.
Padahal ini ibarat ada dua jalan: satu jalan bersih yang Allah ridhai, dan satu jalan berlumpur penuh dosa. Tapi entah kenapa, kita justru lebih suka jalan yang kotor.
Mengapa Kita Masih Memilih Air Comberan?
Beberapa alasan yang umum dijumpai:
-
Kurangnya Edukasi
Banyak umat yang belum paham apa itu riba, seberapa bahayanya, dan bagaimana sistem ekonomi Islam bekerja. -
Menganggap Syariah Itu Rumit
Ada anggapan bahwa bank syariah ribet, keuntungannya kecil, atau produknya terbatas. Padahal itu lebih banyak mitos daripada fakta. -
Terlalu Percaya pada Sistem Buatan Manusia
Sistem kapitalisme modern dianggap lebih “realistis” dan “canggih”. Padahal di dalamnya penuh cacat moral dan ketimpangan. -
Kurang Percaya pada Sistem Allah
Ini yang paling serius. Padahal Allah telah menjanjikan keberkahan bagi siapa pun yang meninggalkan riba dan kembali ke sistem-Nya (lihat QS. Al-Baqarah: 275–279).
Air Putih Itu Ada, Tinggal Mau atau Tidak
Sistem ekonomi Islam bukan utopia. Ia nyata, pernah diterapkan, dan terbukti membawa kemakmuran. Pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, zakat sulit disalurkan karena semua rakyat telah sejahtera.
Kenapa bisa begitu? Karena sistem Islam:
-
Mengharamkan riba dan membebani kekayaan
-
Mengedepankan keadilan dan keseimbangan
-
Mewajibkan zakat, menyalakan infak dan sedekah
-
Mendorong distribusi kekayaan secara adil melalui sistem bagi hasil seperti mudharabah dan musyarakah
Hari ini, sistem ini mulai bangkit. Lembaga seperti bank syariah, koperasi syariah, marketplace halal, hingga produk keuangan syariah lainnya menjadi “air putih” yang sudah tersedia. Tinggal apakah kita mau meminumnya atau tetap memilih comberan.
Jangan Menyesal Saat Racunnya Menyebar
Mungkin sekarang kita merasa nyaman saja dengan sistem yang ada. Tapi perlahan, riba dan ketimpangan itu mulai meracuni:
-
Korupsi meningkat
-
Utang konsumtif meluas
-
Gaya hidup boros tak terkendali
-
Kesenjangan kaya-miskin makin menganga
-
Gaji naik, tapi hidup tetap sempit
Padahal Allah telah memperingatkan secara tegas:
"Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba yang belum dipungut, jika kamu benar-benar beriman. Jika kamu tidak melaksanakannya, maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu..."
(QS. Al-Baqarah: 278–279)
Bayangkan, bukan negara asing yang memerangi kita, tapi Allah dan Rasul-Nya —hanya karena kita masih bersikuuh dengan sistem riba.
Saatnya Berpindah Gelas
Umat Islam tidak kekurangan sistem. Kita hanya kekurangan keberanian untuk kembali kepada aturan Allah.
Air putih itu ada: bersih, segar, dan penuh berkah. Tapi kita masih memilih air comberan karena dianggap lebih “mudah” dan “menguntungkan”.
Saatnya berubah.
Saatnya hijrah.
Dari sistem manusia menuju sistem Ilahi.
Dari riba menuju keberkahan.
Dari ketimpangan menuju keadilan.
Karena apa pun yang datang dari Allah, pasti lebih bersih, lebih adil, dan lebih menyelamatkan .
Oleh : Muh. Ilham Anugrah Bayu
Tondong, 20 Muharram 1447 H / 26 Juli 2025 M